Pimpinan dan Anggota DPRD Batola Ikuti Sosialisasi Antikorupsi

Teks foto: Sosialisasi Antikorupsi di DPRD Barito Kuala, Rabu (11/9). (Istimewa)

Marabahan, wartaberitaindonesia.com – Pimpinan sementara dan anggota serta pegawai Sekretariat DPRD Barito Kuala (Batola) termasuk Gabungan Istri Anggota Wakil Rakyat (Gatriwara) Batola mengikuti Sosialisasi Antikorupsi, Rabu (11/9).

Sosialisasi dilaksanakan Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah III Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bacaan Lainnya

Dalam kesempatan tersebut, Sri Kuncoro Hadi dan Tri Desa Adi Nurcahyo dari KPK memaparkan pengertian korupsi, celah dan peluang korupsi, serta ancaman hukuman untuk pelaku.

Kuncoro menjelaskan tindak pidana korupsi memiliki berbagai bentuk. Mulai dari kerugian keuangan negara,
penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, suap-menyuap, pemerasan, gratifikasi, dan benturan kepentingan dalam pengadaan.

Juga terdapat tindak pidana lain yang berhubungan dengan korupsi seperti merintangi pemeriksaan, keterangan kekayaan, keterangan rekening, keterangan palsu dan indentitas pelapor.

“Berdasarkan data per Januari 2024, sebanyak 344 anggota DPR/DPRD telah terjerat korupsi. Jumlah ini lebih banyak dari profesi lain seperti kepala daerah,” ungkap Kuncoro.

Disebutkannya, sebagian besar atau 65 persen berbentuk gratifikasi, 22 persen pengadaaan barang dan jasa, serta penyalahgunaan anggaran 4 persen.

“Dibandingkan bentuk lain, gratifikasi terbilang sederhana lantaran selalu berhubungan dengan jabatan, bersifat tanam budi dan tanpa kesepakatan,” ujarnya.

Dia mencontohkan seperti pengusaha yang memberi voucher belanja kepada PNS, karena merasa terbantu dalam pengurusan perizinan.

Kemudian Kuncoro memaparkan terkait tugas dan fungsi DPRD, cukup banyak modus korupsi yang berhubungan dengan perencanaan dan penganggaran.

Di antaranya pengaturan proyek pembangunan, jatah pokir (pokok pikiran), suap penetapan APBD, perencanaan tak sesuai kebutuhan, mark up satuan harga, evaluasi tidak dilaksanakan, hingga kurang pengawasan.

Dibandingkan modus lain, pokir dianggap memiliki kerawanan korupsi paling tinggi. Mulai dari transparansi, akuntabilitas, pelaksanaan dan hasil kegiatan.

Permasalahan yang kerap terjadi di antaranya pengajuan pokir diluar batas waktu, tak sesuai RKPD dan RPJMD, kegiatan diusulkan penyedia atau bukan kebutuhan masyarakat, dan kualitas tidak sesuai spesifikasi teknis.

Sebagai bentuk pencegahan, pemerintah daerah diminta dilaporkan melalui Monitoring Center for Prevention (MCP).

Penilaian atas upaya pencegahan tersebut dilakukan bersama oleh KPK, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).

“Terdapat 26 indikator dan 62 subindikator MCP yang harus dilaporkan. Di antaranya kesesuaian pokir, program dan kegiatan dengan RKPD dan RPJMD, pencegahan penyalahgunaan honorarium dan perjalanan dinas, serta evaluasi promosi, rotasi dan mutasi,” terangnya.

Ketua DPRD Sementara Batola, Saleh, menyambut positif sosialisasi yang dilakukan KPK, khususnya Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah III.

“Terlebih sosialiasi dalam rangka program pemberantasan korupsi dan memperkuat kolaborasi pencegahan korupsi di Batola,” tukas Saleh.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *